Boneka Tedy yang tangannya patah

Senin, 03 Februari 2014

Mendung menggelayut dilangit kereta yang kutumpangi menuju kota. Nampaknya hujan akan turun lebat. Deru sirine kereta dibunyikan dua kali sebagai penanda kereta akan lewat, jangan coba – coba melangkahi palang pintu jika tidak mau celaka. Aku kancingkan jaket sedikit rapat, angin menerobos dari kaca yang terbuka menelisik kedalam, membawa hawa dingin dari luar.  Kuhamparkan mataku keluar jendela memandangi barisan pohon yang bergerak, sawah yang mulai menguning. Didalam kereta, para pedagang lalu lalang manjajakan dagangannya. Berharap ada sedikit rejeki yang bisa dibawa pulang atau hanya sekedar mengganjal perut hari itu.

“Sini,, sini dulu,, ini punya ku,,,”
“aku pinjam,, pimjam dulu,,”
“ini punya ku,, sini,, sini,,”

Dua anak kecil berebut tedy bear persis dibangku sebelah kanan tempatku duduk. Satu anak laki – laki dengan stelan kaos dan jeans, satu lagi anak perempuan yang rambutnya dikepang dua. Kapan terakhir aku rasakan seasyik itu? Entahlah. Aku sudah tidak ingat.

Yang ada sekarang bagaimana lembar – lembar kertas hasil jerih payah selama tiga tahun di SMK bisa mengantarku dengan pundi – pundi rupiah. Kata Ayah mengambil jurusan elektronik itu banyak memiliki peluang kerja. Aku ikuti saja. Aku datang kekota dari hasil email yang aku kirimkan kesalah satu perusahaan internasional. Kemarin aku mendapat surat balasan bahwa aku diterima sebagai teknisi di perusahaan itu. Aku menjadi tulang punggung untuk ketiga adikku setelah dua bulan yang lalu ayah kecelakaan dan tidak sempat tertolong. Sedih itu pasti, tapi untuk apalah aku meratapinya terlalu lama.

“salak, salak, mas salak mas,, buat oleh - oleh” aku menggeleng pelan, uang yang kubawa tidak banyak, jadi aku harus teliti apa – apa yang harus aku beli. Kalau jernih berpikir, nasibku mungkin lebih baik dari ibu penjual salak tadi. Bisa saja lima anaknya menuggu dirumah tak terurus. Atau masih harus berangkat berdagang dengan perasaan dongkol sehabis bertengkar dengan suaminya yang selingkuh. Toh nyatanya hidup tetap harus terus berjalan.

Tedy bear tadi tangan kirinya patah dibarengi tangis anak laki - laki yang dari tadi memang matanya sudah berkaca – kaca. Anak perempuan yang jadi rivalnya tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dirinya hanya diam sambil memegangi tangan Tedy yang terlepas dari badannya. Aku yakin dirinya tidak berniat mematahkan boneka berbulu itu.

“Kamu kan laki – laki. Sudah diam, jangan nangis dong” Perempuan paruh baya berusaha untuk mendiamkan si anak laki – laki. Alih – alih usahanya malah terlihat sia – sia. Anak itu makin kencang saja tangisnya. Mendadak jadi tontonan gratis dalam gerbong. Bapak yang tadi tidur disebelahku terbangun dengan sorot mata tidak enak.

Anak – anak tetaplah anak – anak. Mereka juga akan tumbuh menjadi dewasa. Pada saatnya nanti akan memiliki beban, tanggung jawab dan tentu saja menghadapi masalah. Sama seperti kita sekarang. Jadi mengapa harus berkata ‘enaknya menjadi anak – anak’. Jika mesin waktu membalikan kita, berarti kita hanya mendatangi masalah untuk kedua kalinya. Jadi, hadapi dengan sewajarnya. Selesaikan dan kembali hidup dengan bahagia.  

Dua jam berlalu. Anak laki – laki tadi sudah tidak lagi menangis, bukan lantaran kalimat perempuan paruh baya yang tadi melarangnya manangis, tapi karena bapak baik hati yang membesarkan hatinya untuk bersalaman dan saling minta maaf. Anak perempuan tadi dengan senang hati menerima uluran tangan anak laki – laki itu. Iya, anak laki – laki itu yang mulai meminta maaf duluan, berkat hati yang baik dari bapak tadi. Manis sekali melihat adegan itu.

Masinis kembali membunyikan kereta tiga kali. Batangan besi roda kereta bergesek dengan rel menimbulkan bunyi berdecit mengilukukan rahang gigi. Kaitan gerbong bergeretak makin pelan. Dari luar diinformasikan kereta telah sampai dikota, suaranya kedengaran hingga kedalam. Aku segera turun. 
***

Ibu, abang sudah bertemu kepala perusahaan. Gelarnya terlalu panjang, abang baru berhasil mengingat namanya saja, beliau dipanggil pak Syarif. Ibu, mulai besok abang sudah bisa bekerja. Pak Syarif juga sudah menyiapkan kamar untuk tempat tinggal. Trimakasih untuk setiap doanya Bu. Ibu, abang siap menjemput impian dikota ini.

0 komentar:

Posting Komentar