Mendung menggelayut dilangit kereta yang kutumpangi menuju
kota. Nampaknya hujan akan turun lebat. Deru sirine kereta dibunyikan dua kali
sebagai penanda kereta akan lewat, jangan coba – coba melangkahi palang pintu
jika tidak mau celaka. Aku kancingkan jaket sedikit rapat, angin menerobos dari
kaca yang terbuka menelisik kedalam, membawa hawa dingin dari luar. Kuhamparkan mataku keluar jendela memandangi
barisan pohon yang bergerak, sawah yang mulai menguning. Didalam kereta, para
pedagang lalu lalang manjajakan dagangannya. Berharap ada sedikit rejeki yang
bisa dibawa pulang atau hanya sekedar mengganjal perut hari itu.
“Sini,, sini dulu,, ini punya ku,,,”
“aku pinjam,, pimjam dulu,,”
“ini punya ku,, sini,, sini,,”
Dua anak kecil berebut tedy bear persis dibangku sebelah
kanan tempatku duduk. Satu anak laki – laki dengan stelan kaos dan jeans, satu
lagi anak perempuan yang rambutnya dikepang dua. Kapan terakhir aku rasakan
seasyik itu? Entahlah. Aku sudah tidak ingat.
Yang ada sekarang bagaimana lembar – lembar kertas hasil jerih
payah selama tiga tahun di SMK bisa mengantarku dengan pundi – pundi rupiah. Kata Ayah mengambil jurusan elektronik itu banyak memiliki peluang kerja. Aku ikuti saja. Aku datang kekota dari hasil email yang aku kirimkan kesalah satu perusahaan
internasional. Kemarin aku mendapat surat balasan bahwa aku diterima sebagai teknisi di perusahaan itu. Aku
menjadi tulang punggung untuk ketiga adikku setelah dua bulan yang lalu ayah
kecelakaan dan tidak sempat tertolong. Sedih itu pasti, tapi untuk apalah aku
meratapinya terlalu lama.
“salak, salak, mas salak mas,, buat oleh - oleh” aku
menggeleng pelan, uang yang kubawa tidak banyak, jadi aku harus teliti apa – apa
yang harus aku beli. Kalau jernih berpikir, nasibku mungkin lebih baik dari ibu
penjual salak tadi. Bisa saja lima anaknya menuggu dirumah tak terurus. Atau
masih harus berangkat berdagang dengan perasaan dongkol sehabis bertengkar
dengan suaminya yang selingkuh. Toh nyatanya hidup tetap harus terus berjalan.
Tedy bear tadi tangan kirinya patah dibarengi tangis anak
laki - laki yang dari tadi memang matanya sudah berkaca – kaca. Anak perempuan
yang jadi rivalnya tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dirinya hanya
diam sambil memegangi tangan Tedy yang terlepas dari badannya. Aku yakin
dirinya tidak berniat mematahkan boneka berbulu itu.
“Kamu kan laki – laki. Sudah diam, jangan nangis
dong” Perempuan paruh baya berusaha untuk mendiamkan si anak laki – laki. Alih –
alih usahanya malah terlihat sia – sia. Anak itu makin kencang saja tangisnya.
Mendadak jadi tontonan gratis dalam gerbong. Bapak yang tadi tidur disebelahku
terbangun dengan sorot mata tidak enak.
Anak – anak tetaplah anak – anak. Mereka juga akan tumbuh
menjadi dewasa. Pada saatnya nanti akan memiliki beban, tanggung jawab dan
tentu saja menghadapi masalah. Sama seperti kita sekarang. Jadi mengapa harus
berkata ‘enaknya menjadi anak – anak’. Jika mesin waktu membalikan kita,
berarti kita hanya mendatangi masalah untuk kedua kalinya. Jadi, hadapi dengan
sewajarnya. Selesaikan dan kembali hidup dengan bahagia.
Dua jam berlalu. Anak laki – laki tadi sudah tidak lagi
menangis, bukan lantaran kalimat perempuan paruh baya yang tadi melarangnya
manangis, tapi karena bapak baik hati yang membesarkan hatinya untuk bersalaman
dan saling minta maaf. Anak perempuan tadi dengan senang hati menerima uluran
tangan anak laki – laki itu. Iya, anak laki – laki itu yang mulai meminta maaf
duluan, berkat hati yang baik dari bapak tadi. Manis sekali melihat adegan itu.
Masinis kembali membunyikan kereta tiga kali. Batangan besi
roda kereta bergesek dengan rel menimbulkan bunyi berdecit mengilukukan rahang
gigi. Kaitan gerbong bergeretak makin pelan. Dari luar diinformasikan kereta
telah sampai dikota, suaranya kedengaran hingga kedalam. Aku segera turun.
***
Ibu, abang sudah bertemu kepala perusahaan. Gelarnya terlalu panjang, abang baru berhasil mengingat namanya saja, beliau dipanggil pak Syarif. Ibu, mulai besok abang sudah bisa bekerja. Pak Syarif juga sudah menyiapkan kamar untuk tempat tinggal. Trimakasih untuk setiap doanya Bu. Ibu, abang siap menjemput impian dikota ini.
0 komentar:
Posting Komentar