***
Awal
bulan Oktober, saat bibir langit mulai mencurahkan bulir - bulir airnya ke bumi.
Arak – arakan awan mengelabu tiap senja dan pagi buta. Matahari bertengger
menyapa salam sebentar. Hanya sebentar. Seperti ritme kehidupan, ada masa
kelabu membalut menggelayut kalbu. Kata orang, sebagai penanda kasih sayangNya
untuk kita menjalankan titah Tuhan. Katanya, itu artinya kita belajar menuai
sabar. Bersabar seperti apa mendapati kehilangan?
Baru
saja rasanya aku memeluk kebahagiaan bersama kekasihku, dua anak
perempuanku yang lucu dan calon buah hatiku yang baru. Setelah meredakan
kehilangan Ibu, dua bulan lalu. Katanya cobaan bermakna sabar? Aku berusaha
menemukan sabar. Dan saat malam itu, aku
memunajatkan kesabaran. Saat aku mendapati kabar suamiku kecelakaan.
“Malam
ini tidak usah pergi dulu. Sepertinya hujan akan melebat.”
“Ini
kan cuma gerimis. Aku tidak mau jamaah lebih lama menunggu. Jaga anak – anak.
Insyallah malam ini langsung pulang.”
Entah
mengapa isyarat kalimatnya membuatku tak ingin melepaskannya. Betulkan, sudah
aku bilang sebelumnya. Kalau boleh aku hanya ingin terbangun dari mimpi dan
mendapati suamiku masih disampingku. Astaghfirullah, bukankah hidup dan mati
sepenuhnya ada ditanganNya. Bahwa menghadapNya tak mengenal alasan? Bukankah
kita semua hanya meniti waktu kapan giliran kita tiba?
Pagi
hari setelah gerimis mulai mereda. Tepat satu minggu kini aku menjadi ayah
sekaligus ibu untuk anak –anakku, setelah sebelumnya mas Habib mengalami
pedarahan hebat di kepala pasca operasi. Kini aku mulai belajar tersenyum.
Tersenyum untuk orang – orang yang sangat aku cintai dan Allah lebih mencintai
mereka. Tersenyum untuk anak – anak ku dan calon bayi ku kelak.
“umi,,
umi,,, ayah dimana, ayah dimana,,,” itu aisyah. Anak ku yang nomor dua. Dua
bulan lagi usianya tepat tiga tahun. Sampai detik ini masih saja menanyakan
ayahnya.
“ada
apa sayang...”
“Umi,
kenapa ayah belum pulang?”
“Umi
kan sudah bilang, Ayah sudah bersama Allah. Sekarang kita doakan Ayah, agar
sabar menunggu kita” aku mengakatnya dari tempat tidur.
“dimana
mi,, dimana..”
“Nih,
umi sudah buatin pisang goreng kesukaan aisyah” ajaib, mata besarnya langsung
berbinar dan seketika diam.
Kapan
anak – anak akan mengerti? Sudahlah. Tak ada ruang untukku mengeluh. Bukankah setiap detik yang kita lalui adalah
perjalanan mendekatkan diri pada perpisahan. Aku hanya ingin menjadi salah satu
bidadari yang dipilih mas Habib dan bunda untuk anak –anakku dihari palng abadi itu. Ya Allah,
jagalah mereka saat penjagaanku sangat lemah. Jadikan mereka anak yang
sholehah.
Saat
aku menceritakan kisah ini padamu. Gerimis hanya menyisakan rinai basah pada
kaca yang mengembun, pada tetes bening diujung daun. Kau tahu, dalam mobil
selagi perjalanan menuju sekolah mereka. Anak ku bilang mereka mau menuruti ku,
belajar mengaji sungguh –sungguh dan selalu mendoakan ayahnya. Katanya agar
saat bertemu ayahnya, ayahnya akan tersenyum menyambut mereka bahagia. Siapa
yang tidak terenyuh mendengar ocehan dua juniorku ini. Kemudian mereka serempak
berdoa seperti dalam surat nuh ayah 28 dilanjutkan surat al –Isro ayat 24
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa
kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
Dengan
gaya cadelnya mereka mengartikan. Ya Alloh, ampunilah dosaku dan dosa kedua
olang tuaku serta kasihilah meleka belrdua seperti mereka mengasihiku sewaktu
kecil. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar