[Cerpen Mini] Gerimis di Oktober

Selasa, 04 Maret 2014

3 Februari lalu, itu tulisan terakhir yang saya post di halamannya Mbak Kiki. Sudah sebulan silam. Kali ini mbak kiki mau ngepost Antologi ke dua mbak Kiki, salah satu cermin sederhana yang dimuat di antologi 'Fatamorgana Perpisahan' oleh cafe books publisher bersama Muhammad Hasir dkk.
***

Awal bulan Oktober, saat bibir langit mulai mencurahkan bulir - bulir airnya ke bumi. Arak – arakan awan mengelabu tiap senja dan pagi buta. Matahari bertengger menyapa salam sebentar. Hanya sebentar. Seperti ritme kehidupan, ada masa kelabu membalut menggelayut kalbu. Kata orang, sebagai penanda kasih sayangNya untuk kita menjalankan titah Tuhan. Katanya, itu artinya kita belajar menuai sabar. Bersabar seperti apa mendapati kehilangan?

Baru saja rasanya aku memeluk kebahagiaan bersama kekasihku, dua anak perempuanku yang lucu dan calon buah hatiku yang baru. Setelah meredakan kehilangan Ibu, dua bulan lalu. Katanya cobaan bermakna sabar? Aku berusaha menemukan sabar.  Dan saat malam itu, aku memunajatkan kesabaran. Saat aku mendapati kabar suamiku kecelakaan.

“Malam ini tidak usah pergi dulu. Sepertinya hujan akan melebat.”

“Ini kan cuma gerimis. Aku tidak mau jamaah lebih lama menunggu. Jaga anak – anak. Insyallah malam ini langsung pulang.”

Entah mengapa isyarat kalimatnya membuatku tak ingin melepaskannya. Betulkan, sudah aku bilang sebelumnya. Kalau boleh aku hanya ingin terbangun dari mimpi dan mendapati suamiku masih disampingku. Astaghfirullah, bukankah hidup dan mati sepenuhnya ada ditanganNya. Bahwa menghadapNya tak mengenal alasan? Bukankah kita semua hanya meniti waktu kapan giliran kita tiba?

Pagi hari setelah gerimis mulai mereda. Tepat satu minggu kini aku menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak –anakku, setelah sebelumnya mas Habib mengalami pedarahan hebat di kepala pasca operasi. Kini aku mulai belajar tersenyum. Tersenyum untuk orang – orang yang sangat aku cintai dan Allah lebih mencintai mereka. Tersenyum untuk anak – anak ku dan calon bayi ku kelak.

“umi,, umi,,, ayah dimana, ayah dimana,,,” itu aisyah. Anak ku yang nomor dua. Dua bulan lagi usianya tepat tiga tahun. Sampai detik ini masih saja menanyakan ayahnya.

“ada apa sayang...”

“Umi, kenapa ayah belum pulang?”

“Umi kan sudah bilang, Ayah sudah bersama Allah. Sekarang kita doakan Ayah, agar sabar menunggu kita” aku mengakatnya dari tempat tidur.
“dimana mi,, dimana..”

“Nih, umi sudah buatin pisang goreng kesukaan aisyah” ajaib, mata besarnya langsung berbinar dan seketika diam.

Kapan anak – anak akan mengerti? Sudahlah. Tak ada ruang untukku mengeluh. Bukankah  setiap detik yang kita lalui adalah perjalanan mendekatkan diri pada perpisahan. Aku hanya ingin menjadi salah satu bidadari yang dipilih mas Habib dan bunda untuk anak –anakku dihari palng abadi itu. Ya Allah, jagalah mereka saat penjagaanku sangat lemah. Jadikan mereka anak yang sholehah.

Saat aku menceritakan kisah ini padamu. Gerimis hanya menyisakan rinai basah pada kaca yang mengembun, pada tetes bening diujung daun. Kau tahu, dalam mobil selagi perjalanan menuju sekolah mereka. Anak ku bilang mereka mau menuruti ku, belajar mengaji sungguh –sungguh dan selalu mendoakan ayahnya. Katanya agar saat bertemu ayahnya, ayahnya akan tersenyum menyambut mereka bahagia. Siapa yang tidak terenyuh mendengar ocehan dua juniorku ini. Kemudian mereka serempak berdoa seperti dalam surat nuh ayah 28 dilanjutkan surat al –Isro ayat 24

Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa


Dengan gaya cadelnya mereka mengartikan. Ya Alloh, ampunilah dosaku dan dosa kedua olang tuaku serta kasihilah meleka belrdua seperti mereka mengasihiku sewaktu kecil. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar