MEMAKNA RELIEF KEHIDUPAN #1

Kamis, 05 September 2013
Kisahnya sebetulnya tidak benar – benar sebulan. Kalimat itu aku pakai hanya untuk menunjukan sudah sangat lama aku pergi dari dunia maya. Dunia tanpa jarak ruang dan waktu. Semua orang bisa berselancar seenaknya, mendeskripsikan dirinya dengan tujuan semaunya. Tidak heran jika kejahatan dan penipuan meraja di dunia micro chip ini. 
assalamualaikum warahmarullah hiwabarakatuh...

Entah sudah berapa lama aku tidak bersinggungan dengan aktifitas menulis. Banyak memoar yang agaknya tenggelam entah dimana. Aku akan memulai dengan pengakuan sebulan silam. Sebelumnya, akan aku beri tahu ke kalian semua. Aku suka mendeskripsikan aktifitas yang ada disekelilingku, mereka seperti roll film yang sedang diputar. Seperti yang akan aku ceritkan kali ini. Rekam jejak yang asyik untuk ditelisik sehingga menyerupai adegan yang natural, disuguhkan untuk kemudian bisa diambil pelajaran secara seksama. Ini hanya cerita fiktif, jik ada kesamaan tokoh maka sekali lagi saya katakan, ini hanya sebuah cerita fiktif.

Kisahnya sebetulnya tidak benar – benar sebulan. Kalimat itu aku pakai hanya untuk menunjukan sudah sangat lama aku pergi dari dunia maya. Dunia tanpa jarak ruang dan waktu. Semua orang bisa berselancar seenaknya, mendeskripsikan dirinya dengan tujuan semaunya. Tidak heran jika kejahatan dan penipuan meraja di dunia micro chip ini. Mengenai anak – anak, remaja, bahkan orang dewasa sekaliber direktur pun bisa kena ranjau tipu. Ibarat dua mata pisau yang saling menyatu. Tentu kita tidak memunafikan value positif yang disuguhkan dunia maya tanpa bayar. Informasi upto date dan beribu kebermanfaatan yang dihadirkan adalah ladang pembelajaran yang sayang untuk dilewatkan.

Pengakuan 1 Kuliah, alfi

Seperti biasa, kadatanganku sekeluarga disambut kehebohan para ibu – ibu yang sedang berkerumun dan anak – anak yang berlarian entah apa yang mereka perebutkan. Ada juga Ibu yang meneriaki anaknya untuk segera mandi. Siang sudah beranjak, menjelang sore sekitar pukul tiga. Seperti kebanyakan orang desa. Sore pamali untuk tidur. Jadi kalau pekerjaan rumah seduah selesai, seakan ada jadwal tersendiri untuk kumpul –kumpul bareng ibu – ibu yang lain.

Ada yang menarik, aku mendekati remaja yang sendari tadi melambai – lambaikan tangannya kepadaku.

Alfi, masih 18 tahun. Hidup dengan 3 adiknya tanpa bapak dan ibu. Bukan karena mereka yatim. Orang tuanya terpaksa merantau untuk menghidupi keuarganya, bukan keibukota. Sumatera, sayangnya aku lupa menanyakan lokasi tepatnya disumatera bagian mana. Hidup dengan segala keterbatasan mengajarnya keikhlasan yang luarbiasa. Rautmukanya sama sekali tidak ditemukan penyesalan. Mungkin karena ditutupi dengan tekat dan kemauan yang kuat. “aku ingin kuliah, seperti kamu mb” jawabnya mantap saat aku tanya apa keinginanmu selanjutnya. Sambil memilin – milin ujung jilbabnya.

Alfi adalah salah satu dari lima atau lebih sedikit remaja didesanya yang lulus hingga jenjang SMA. Alfi menamatkan pendidikan di Aliyah sederajat dengan SMA. Kuliyah barang kali pendidikan yang sangat lumrah dikota kalian. Di desa alfi, sekolah berarti memeras keringat dan membuang –buang uang. Sekolah adalah barang yang sangat mahal. Rata – rata remaja disana menikah setelah lulus SMP atau setahun sesudahnya. Jikapun tidak, mereka memilih merantau kekota- kota besar atau menjadi TKW dengan pengalman seadanya. Hampir semua warganya berprofesi sebagai petani. Bukan yang memiliki sawahnya, tetapi yang bekerja diladang orang lain. Kalaupun memiliki sawah, tak seberapa besarnya. Bisa kalian bayangkan bukan. Bagaimana taraf ekonomi disana.

Aku tidak bisa berlama – lama. Hari itu sudah hampir maghrib. Aku harus segera pulang kalau tidak ingin terjebak gelap dijalan. Alfi, bukan orang asing untuk ku. Dia pernah menjadi tetanggaku tiga belas tahun silam. Saat itu berarti usianya masih lima tahun.

“doakan aku ya mb, besok aku mau nyusul bapak.” Katanya sambil tersenyum

“ke sumtera” tanyaku ragu

“iya, biar mama bisa pulang. Biar bisa bareng adik – adik ngurusi dirumah. Sekalian aku nyicil nabung buat kuliyah” seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan tentang adik – adiknya.

Aku hanya tersenyum. Bersalaman. Aku tidak tahu, apa aku harus melarangnya pergi ke tanah yang jauh disana yang bahkan tidak ada saudara atau aku mempersilakannya pergi untuk cita- citanya. Kemudian berpamitan. Rumah bercat coklat seadanya yang ditinggali empat bersaudara tanpa bapak ibu, lamat – lamat mulai menghilang. Meminggalkan bejuta cerita. Sudah menjadi rutinitas tahunan. Setiap ramadhan aku selalu bersilaturahmi ketempat masa kecil aku pernah ada.

Sebuah keyakinan muncul dibenakku. Lima tahun mendatang desa itu akan ada generasi dengan gelar sarjana. Dan bisa saja itu awal perubahan yang nyata. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar