Karamnya Kapal

Senin, 03 Juni 2013

Al kisah, dinegeri antah berantah. Ada sebuah pelabuhan internasional yang sangat terkenal. Pada zaman itu, pusat peradaban dibangun melalui jalur tersebut. Kemegahan kotanya taktertandingi. Seperti seyogyanya gambaran sebuah kota. Meski banyak kemashuran dan kemapanan penduduknya, tetap saja masih banyak kemiskinan dan kebodohan bersarang di kota itu. 

Kota metropolitan tersebut dipimpim oleh seorang walikota yang baru saja terpilih, yang kemasyhurannya bahkan tercium hingga kenegeri seberang. Sifat nya yang dermawan, bijaksana, visioner menjadikan sang walikota tersebut diterima disemua kalangan.

Suatu hari kota tersebut membuktikan kecerdasan penduduknya. Maka dibuatlah kapal termegah dan terbesar yang pernah ada. Dinamailah kapal Peradaban. Semua bahan kapal dari bahan terbaik yang dimiliki
kota tersebut. Setiap kabin kapal dirancang sedemikian rupa untuk kenyamanan penumpangnya. Fasilitas air bersih ada di deck paling atas. Kemudian, untuk memperkenalkan ciptaannya diadakanlah pelayaran terpanjang yang rencananya akan melewati tiga benua. Kapal tersebut dinahkodai oleh master lautan, tak kan diragukan lagi kepiawainanya dalam mengendalikan kapal. Berlayarlah kapal peradaban tersebut.

Kapal itu terbagi atas beberpa tingkat deck. Setiap lantainya melambangkangkan karakter penumpangnya. Bukan dengan pangkatnya, bukan hartanya atau bukan dengan cantik dan gagahnya ditempatkan, tetapi dengan karakternya. Penyabar, arogan, sombong, rajin, pekerja keras, pemalas dan bijaksana. Semua menempati tempatnya masing – masing.

Deck paling bawah ditempati orang –orang malas. Beberapa hari kemudian, persediaan air mereka habis. Untuk mengambil air bersih, mereka harus naik ke deck paling atas. Karena semua persediaan air bersih ada disana. Membayangkan untuk naiknya saja mereka sudah ogah – ogahan. Akhirnya mereka menemukan ide. “mengapa harus capek – capek naik ke atas, disini, dibawah kita banyak terdapat air.” Sambil menunjuk lantai kapal. Akhirnya sepakatlah mereka untuk melubangi sedikit lantai kapal. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka membawa semua penumpangnya kejurang kematian. Petaka besar itu tidak saja menewaskan sang malas, namun juga yang rajin, bijaksana, visioner, dermawan dan semuanya.

Semua tenggelam. Kapal itu hilang, tertelan jauh didasar samudra. Nahkodanya ikut tenggelam. Sang walikota tinggal sejarah, bersama remahannya. Visinya tak jadi tersampaikan.
***
Tidak, sekali –kali tidak. Jangan salahkan siapa? Pertanyaan itu harusnya berbalik, Kita itu siapa? dengan bangganya memperkenalkan lusinan medali kejuaraan. Tapi kita tak sadar, bahwa kita masih acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar. Kita tak tahu ada orang – orang yang masih harus mendapat pengetahuan dan kita tak melakukannya. Kerana bisa saja apa yang mereka lakukan membahayakan kita juga. kita tak peduli dengan yang mereka lakukan. Sang walikota terlambat menyadari bahwa kedermawannya, visionernya tak diimbangi dengan para menterinya. Sang walikota baru tersebut tidak menyadari, bahwa untuk membangun peradaban diperlukan jajaran yang juga loyal, jujur dan baik hati. Hanya saja, ketika itu disadarinya semua sudah menjadi puing - puing.

Ketika kita menjadi sang penyabar, bahwa sanya kita juga harus memiliki ketegasan. Ketika menjadi yang tidak berpengetahuan. Disaat yang sama, kita juga menjadi sang sombong yang tak mau tahu. Hingga akhirnya kita terperangkap dalam jarring yang seakan kita tahu semuanya.

Belajarlah dari ilmu padi. Makin berisi, makin merunduk. Maka makin terlihatlah kebermanfaatan kita. mungkin tidak seketika kita itu juga kita menikmati kebermanfaatan, mungkin hitungan tahun. Namun, tetaplah merunduk, tetaplah rendah hati, jujur pada dirisendiri. Sejatinya bukan peradaban yang membutuhkan kita, namun kitalah yang membutuhkan peradaban.  


0 komentar:

Posting Komentar