Drama Hujan

Sabtu, 01 Juni 2013
Sudah tiga hari ini, setiap sore tiba hujan selalu turun. Biasanya, turunnya hujan disertai seruan anak – anak praktikan. Kompak mereka bersuara “yah, hujan.”
 ***

Hujan, membasahi jalan, atap – atap rumah, kaca – kaca toko, dan menghanyutkan daun – daun kering. Pejalan kaki merapat dipinggir – pinggir toko berteduh menghentikan aktifitasnya.  Pengendara motor bergegas mengenakan mantol. Kembali berpacu dengan derasnya hujan. Paling nyaman memang menggunakan mobil. Tidak kepanasan dan kalau hujan begini, aman dari guyuran hujan. Tinggal berhati – hati saja, hujan bisa saja mengaburkan pandangan jalanan.

Adanya hujan bisa jadi alasan jitu. Yang diruangan, dimasjid misalnya, kembali duduk – duduk lagi atau bahkan baring – baring. “Ntar ah, nunggu hujan.” Yang telat masuk kelas, “Maaf pak terlambat, dijalan kena hujan.” Yang jadi pengajar, sms ke ketua kelas “hari ini kelas diganti tugas, silakan kerjakan halaman 76, nomor 1 sampai 5. Kirim ke email bla bla bla.” Tak pelak adikku, diminta keluar buat beli cabe “Ntar bu, masih hujan” dan kembali melanjutkan nonton TV. Alhasil, hampir semua aktifitas mundur. Salah siapa? Yang jelas waktu tidak akan kembali. Ketika sudah berlalu, maka sedetik yang lalu pun hanya akan jadi masalalu buat kita.

Tapi tidak dengan tiga bocah kelas 5 SD. Duh, namanya aku lupa. Aku bertemu mereka dikota metropolitan, Jakarta. Yang kebetulan aku sedang berteduh di gedung itu. Datangnya hujan adalah keberkahan buat mereka. “Mba, ojek payung” aku yang sedang menunggu temanku melambaikan tangan “ngga dik, makasih.” Kemudian berlalu. “Mas, ojek payung.” Laki –laki yang barusan keluar dari gedung tersebut tersenyum sembari menerima sebuah payung besar. Langkahnya berjingkat menghindari genangan air, menuju mobil silver keluaran 2010. Mereka tidak menghiraukan tubuhnya yang menggigil atau bibirnya yang membiru, yang penting terkumpul rupiah demi rupiah
***

“Kenapa malah ngeluh? Hujan adalah berkah. Ayo kumpulkan kalau sudah selesai pretestnya” aku mencoba mengembalikan focus mereka.

“bentar mb, kurang satu lagi” cergah salah satu praktikan saat aku menarik kertas mereka.
***

Aku tarik garis empat tahun silam. Saat aku masih sekolah. Kalau hujan begini, jadi ajang kumpul keluarga. Ibu sudah pulang sejak jam 2, Ayah kalau tidak lembur sekitar jam tigaan juga sudah dirumah. Biasanya aku dan Ibu langsung menuju dapur, membuat makanan kecil. Apapun bisa dibuat. Bisa wedang jahe, kalau ada tempe, bisa buat tempe goreng. Ada pisang, bikin pisang goreng, pisang dikukus atau kolak. Ada ubi, kita bikin timus. Pernah suatu hari, dirumah ada mangga, apel, semangka. Bukan karena banyak buah. Eh, ditambah satu lagi kelengkeng. Tapi, buah –buah itu sudah lama nangkring dilemari belum tersentuh, akhirnya sudah pada keriput karena kedinginan. Umi bikin menu sendiri, semua buah dikupas, kemudian rebus air, ditambah gula pasir, kayu manis, perasan jeruk nipis dan jahe. Kemudian buah – buah tadi dimasak dengan sedikit gula pasir, modelnya seperti digoreng. Sebentar saja. Kemudian campurkan dengan air tadi. Walah –gayanya farah queen-. Jadilah koktail ala Ibu ku. Hemm,, rasanya manis, asem plus rasa jahe.

Sambil nyiapin snack, dua adek ku dan ayah asyik main sesuatu. Kadang yang terdengar hanya suara ayah kemudian gelak tawa adek –adeku, sesaat kemudian entah apa mereka tiba – tiba sesegukan. Ayah pribadi yang menyenangkan. Bisa saja buat anak – anaknya dekat disampingnya. Dirumah ada catur, yang sering main biasanya ayah dan adek laki –laki ku. Kita juga kadang main kartu versi kita – kita, kenapa? Karena yang membuat aturan main adalah kita. Ayah ngikut saja. Atau kalau ga main, ayah akan cerita tetang hikmah, siswa – siswanya disekolah atau sahabat Nabi. Kami, anak – anaknya asyik mendengarkan. Sambil sesekali protes, kenapa ga dilarang aja waktu panjat pagar? Kenapa Nabi ga berdoa saja agar Abu jahal dikasih azab sama Allah? Berarti cat rambut warna ijo boleh dong Yah? Dan seabreg pertanyaan lagi. Buat kami yang perempuan, ayah sering cerita tentang asma binti abu bakar. Seingatku Ayah sudah mengulangnya berkali - kali. Saat aku masih SD, aku sudah mengenal Asma meski versi anak –anak, waktu kelulusan SMP ayah mengulang cerita yang sama, waktu aku dirawat dirumah sakit karena kecelakaan kendaran. Entah waktu mana lagi. Toh, aku juga ga bosan mendengarkan beliau cerita.

Sekarang, kalau aku pulang kerumah. Ayah juga masih senang cerita, meski ga sepanjang dulu waktu kami masih sekolah. Mungkin karena aku yang sudah tidak tidak banyak waktu mendengarkan ceritanya. Kalau pulang kerumah. Aku ingin main kerumah temenku ayah, reunian setelah lepas dari SMA. Aku punya renca membangun desa kita, jadi aku harus menyelesaikan proposal –proposal ini. Apa aku terlalu egois? Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk desa kita.

Aku dan Ibu sambil masak didapur sambil mengobrol, tentang apapun. Kadang aku yang curhat, kadang juga ibu yang cerita tetang sekolahnya dulu, tentang pertemuannya dengan Ayah atau cerita nenek dan kakek yang berjuang menyekolahkan Ibu dan enam saudaranya hingga bisa seperti sekarang. Ibu orangnya serius. Kadang kalau ibu sedang cerita lucu, jatuhnya malah jadi garing. Yang akan mentranslet adalah adeku yang laki –laki atau ayah. Mereka itu jagonya bikin cerita lucu. Sepertinya aku terdominasi sifat Ibu. Susah kalau mau bikin cerita lucu. Meski begitu, Ibulah yang sering menentramkan suasana. Contoh, lima hari menjelang Idul Fitri adek perempuanku belum bisa pulang kampung. Karena sedang PPL. Katanya baru bisa pulang besoknya. Eh, giliran mau pulang, malam harinya tiba – tiba ngasih kabar kalau sakit. Ayahku udah panic duluan. Rencana mau dijemput malam itu juga. Ibu bilang nanti dulu, ojo grusa grusu. Ibu telephon adekku. Ternyata sakitnya itu sakit gigi. Kita serumah ketawain ayah. Giliran Ibu yang nimpali. “jadi mau jemput, Yah.”

Selesai snack. Aku bawa keruang tengah sekaligus ruang TV, “makanan udah siap.” Semua menyerbu. Sambil makan sambil nonton TV. Ayah pindah keruang depan sambil baca majalah. Hidayatullah atau Saksi, langganan majalah Ayah. Ibu sama majalah Ummi. Giliran kita bertiga, aku, adekku yang perempuan dan adek bungsuku yang laki – laki berebut chanel TV.
***

Waktu menunjukan pukul 16.30. praktikum selesai.

“kita akhiri pertemuan sore hari ini dengan bacan hamdallah”

“ Saya ingatkan kembali, tugas kumpul dengan hardcopy minggu depan. Yang ga bawa tugas, tidak boleh ikut praktikum. Wassalamualaikum warahmatullah hi wabarakatuh”
***

Aku cepat –cepat pulang ke kos. Menerobos derasnya hujan. Biarlah basah. aku ingin cepat sampai kos, ingin menelephon Ayah. Aku tekan nomor yang sudah aku hafal diluar kepala.

“Assalamualaikum” terdengar getaran nada yang selalu aku rindu. Suara yang tegas, meneduhkan.

Bebrapa detik terdiam. Diantara tik tak suara  hujan. Ada jarak yang sangat dekat. Yang takan lekang oleh waktu. Menghujam dalam dihati kami. Terpatri dan takan tergantikan. Cintanya sepanjang jalan, jasanya takan terbalaskan, pengorbanannya bertumpah jiwa dan raga. Dan hingga saatnya nanti, Rabby tempatkanlah kami kembali Aku, Ayah, Ibu dan dua adikku dipersatukan dalam jannahNya. Amin.

“waalaikum salam. Yah, lagi ngapain?”


fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi

0 komentar:

Posting Komentar