Sudah tiga hari ini, setiap sore tiba hujan selalu turun.
Biasanya, turunnya hujan disertai seruan anak – anak praktikan. Kompak mereka
bersuara “yah, hujan.”
***
Hujan, membasahi jalan, atap – atap rumah, kaca – kaca toko,
dan menghanyutkan daun – daun kering. Pejalan kaki merapat dipinggir – pinggir
toko berteduh menghentikan aktifitasnya.
Pengendara motor bergegas mengenakan mantol. Kembali berpacu dengan
derasnya hujan. Paling nyaman memang menggunakan mobil. Tidak kepanasan dan
kalau hujan begini, aman dari guyuran hujan. Tinggal berhati – hati saja, hujan
bisa saja mengaburkan pandangan jalanan.
Adanya hujan bisa jadi alasan jitu. Yang diruangan, dimasjid
misalnya, kembali duduk – duduk lagi atau bahkan baring – baring. “Ntar ah,
nunggu hujan.” Yang telat masuk kelas, “Maaf pak terlambat, dijalan kena
hujan.” Yang jadi pengajar, sms ke ketua kelas “hari ini kelas diganti tugas,
silakan kerjakan halaman 76, nomor 1 sampai 5. Kirim ke email bla bla bla.” Tak
pelak adikku, diminta keluar buat beli cabe “Ntar bu, masih hujan” dan kembali
melanjutkan nonton TV. Alhasil, hampir semua aktifitas mundur. Salah siapa?
Yang jelas waktu tidak akan kembali. Ketika sudah berlalu, maka sedetik yang
lalu pun hanya akan jadi masalalu buat kita.
Tapi tidak dengan tiga bocah kelas 5 SD. Duh, namanya aku
lupa. Aku bertemu mereka dikota metropolitan, Jakarta. Yang kebetulan aku
sedang berteduh di gedung itu. Datangnya hujan adalah keberkahan buat mereka. “Mba,
ojek payung” aku yang sedang menunggu temanku melambaikan tangan “ngga dik,
makasih.” Kemudian berlalu. “Mas, ojek payung.” Laki –laki yang barusan keluar
dari gedung tersebut tersenyum sembari menerima sebuah payung besar. Langkahnya
berjingkat menghindari genangan air, menuju mobil silver keluaran 2010. Mereka
tidak menghiraukan tubuhnya yang menggigil atau bibirnya yang membiru, yang
penting terkumpul rupiah demi rupiah
***
“Kenapa malah ngeluh? Hujan adalah berkah. Ayo kumpulkan
kalau sudah selesai pretestnya” aku mencoba mengembalikan focus mereka.
“bentar mb, kurang satu lagi” cergah salah satu praktikan
saat aku menarik kertas mereka.
***
Aku tarik garis empat tahun silam. Saat aku masih sekolah.
Kalau hujan begini, jadi ajang kumpul keluarga. Ibu sudah pulang sejak jam 2,
Ayah kalau tidak lembur sekitar jam tigaan juga sudah dirumah. Biasanya aku dan
Ibu langsung menuju dapur, membuat makanan kecil. Apapun bisa dibuat. Bisa
wedang jahe, kalau ada tempe, bisa buat tempe goreng. Ada pisang, bikin pisang
goreng, pisang dikukus atau kolak. Ada ubi, kita bikin timus. Pernah suatu
hari, dirumah ada mangga, apel, semangka. Bukan karena banyak buah. Eh,
ditambah satu lagi kelengkeng. Tapi, buah –buah itu sudah lama nangkring
dilemari belum tersentuh, akhirnya sudah pada keriput karena kedinginan. Umi
bikin menu sendiri, semua buah dikupas, kemudian rebus air, ditambah gula
pasir, kayu manis, perasan jeruk nipis dan jahe. Kemudian buah – buah tadi
dimasak dengan sedikit gula pasir, modelnya seperti digoreng. Sebentar saja.
Kemudian campurkan dengan air tadi. Walah –gayanya farah queen-. Jadilah
koktail ala Ibu ku. Hemm,, rasanya manis, asem plus rasa jahe.
Sambil nyiapin snack, dua adek ku dan ayah asyik main
sesuatu. Kadang yang terdengar hanya suara ayah kemudian gelak tawa adek
–adeku, sesaat kemudian entah apa mereka tiba – tiba sesegukan. Ayah pribadi
yang menyenangkan. Bisa saja buat anak – anaknya dekat disampingnya. Dirumah
ada catur, yang sering main biasanya ayah dan adek laki –laki ku. Kita juga
kadang main kartu versi kita – kita, kenapa? Karena yang membuat aturan main
adalah kita. Ayah ngikut saja. Atau kalau ga main, ayah akan cerita tetang
hikmah, siswa – siswanya disekolah atau sahabat Nabi. Kami, anak – anaknya
asyik mendengarkan. Sambil sesekali protes, kenapa ga dilarang aja waktu panjat
pagar? Kenapa Nabi ga berdoa saja agar Abu jahal dikasih azab sama Allah? Berarti
cat rambut warna ijo boleh dong Yah? Dan seabreg pertanyaan lagi. Buat kami
yang perempuan, ayah sering cerita tentang asma binti abu bakar. Seingatku Ayah
sudah mengulangnya berkali - kali. Saat aku masih SD, aku sudah mengenal Asma
meski versi anak –anak, waktu kelulusan SMP ayah mengulang cerita yang sama,
waktu aku dirawat dirumah sakit karena kecelakaan kendaran. Entah waktu mana
lagi. Toh, aku juga ga bosan mendengarkan beliau cerita.
Sekarang, kalau aku pulang kerumah. Ayah juga masih senang
cerita, meski ga sepanjang dulu waktu kami masih sekolah. Mungkin karena aku
yang sudah tidak tidak banyak waktu mendengarkan ceritanya. Kalau pulang
kerumah. Aku ingin main kerumah temenku ayah, reunian setelah lepas dari SMA.
Aku punya renca membangun desa kita, jadi aku harus menyelesaikan proposal
–proposal ini. Apa aku terlalu egois? Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk
desa kita.
Aku dan Ibu sambil masak didapur sambil mengobrol, tentang
apapun. Kadang aku yang curhat, kadang juga ibu yang cerita tetang sekolahnya
dulu, tentang pertemuannya dengan Ayah atau cerita nenek dan kakek yang
berjuang menyekolahkan Ibu dan enam saudaranya hingga bisa seperti sekarang.
Ibu orangnya serius. Kadang kalau ibu sedang cerita lucu, jatuhnya malah jadi
garing. Yang akan mentranslet adalah adeku yang laki –laki atau ayah. Mereka
itu jagonya bikin cerita lucu. Sepertinya aku terdominasi sifat Ibu. Susah
kalau mau bikin cerita lucu. Meski begitu, Ibulah yang sering menentramkan
suasana. Contoh, lima hari menjelang Idul Fitri adek perempuanku belum bisa
pulang kampung. Karena sedang PPL. Katanya baru bisa pulang besoknya. Eh,
giliran mau pulang, malam harinya tiba – tiba ngasih kabar kalau sakit. Ayahku
udah panic duluan. Rencana mau dijemput malam itu juga. Ibu bilang nanti dulu, ojo
grusa grusu. Ibu telephon adekku. Ternyata sakitnya itu sakit gigi. Kita
serumah ketawain ayah. Giliran Ibu yang nimpali. “jadi mau jemput, Yah.”
Selesai snack. Aku bawa keruang tengah sekaligus ruang TV,
“makanan udah siap.” Semua menyerbu. Sambil makan sambil nonton TV. Ayah pindah
keruang depan sambil baca majalah. Hidayatullah atau Saksi, langganan majalah
Ayah. Ibu sama majalah Ummi. Giliran kita bertiga, aku, adekku yang perempuan
dan adek bungsuku yang laki – laki berebut chanel TV.
***
Waktu menunjukan pukul 16.30. praktikum selesai.
“kita akhiri pertemuan sore hari ini dengan bacan hamdallah”
“ Saya ingatkan kembali, tugas kumpul dengan hardcopy minggu
depan. Yang ga bawa tugas, tidak boleh ikut praktikum. Wassalamualaikum
warahmatullah hi wabarakatuh”
***
Aku cepat –cepat pulang ke kos. Menerobos derasnya hujan.
Biarlah basah. aku ingin cepat sampai kos, ingin menelephon Ayah. Aku tekan
nomor yang sudah aku hafal diluar kepala.
“Assalamualaikum” terdengar getaran nada yang selalu aku
rindu. Suara yang tegas, meneduhkan.
Bebrapa detik terdiam. Diantara tik tak suara hujan. Ada jarak yang sangat dekat. Yang
takan lekang oleh waktu. Menghujam dalam dihati kami. Terpatri dan takan tergantikan.
Cintanya sepanjang jalan, jasanya takan terbalaskan, pengorbanannya bertumpah
jiwa dan raga. Dan hingga saatnya nanti, Rabby tempatkanlah kami kembali Aku,
Ayah, Ibu dan dua adikku dipersatukan dalam jannahNya. Amin.
“waalaikum salam. Yah, lagi ngapain?”
fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi
fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi fiksi

0 komentar:
Posting Komentar