Semenjak TK kita diajarkan untuk melihat cita-cita. Begini biasanya
guru akan menanyai muridnya.
Adek pengen jadi apa kalau besar nanti? Dengan sangat
antusias Bella akan menjawab, jadi dokter bu guru. Beda lagi dengan Aga, pengen
jadi pilot. Kalau Dani, pengen jadi presiden bu guru. Sasa, pengen jadi
astronottt. Fian, jadi polisi yang baik bu guru. Gara – gara ditanya cita – cita
gaduh seluruh kelas.
Beranjak SD, pertanyaan yang sama dilontarkan guru mereka. Apa
cita – cita kalian anak – anak? Aku mau jadi pilot, biar bisa antar mama ke
pasar #lha, antar mama pake pesawat?? Namanya anak kelas 2 SD korban lagu
josua. Aku mau jadi koki. Kalau aku mau jadi suster. Naik ke kelas 6, sudah
beda lagi cita-citanya. Sudah mulai banyak pelajaran yang diserap, dan
pelajaran kepribadian ga ada. Cita-cita mulai koleps. Tapi masih mending. Bisa menyebutkan
mau jadi apa. Saya mau jadi guru bahasa inggris. Saya jadi pengusaha yang
sukses.
Tingkat SMP, ditanya lagi. Makin turun aja cita-cita mereka.
Yang jadi pilot, president, astronot hilang semua. Aku,, aku jadi sarjana. Nah
lho, sarjana apa? apa aja deh. Yang penting sarjana. Kalau Aku,, makin lama
mikirnya. Jadi orang yang sukses. Sambil matanyalirik kanan kiri, labil. Makin
ga tahu siapa dirinya.
Mau lulus SMA, pertanyaan yang sama dilontarkan oleng sang
guru. Pertanyaan itu jadi serasa sangat berat. Sudah mikirin nilai semesteran,
Ujian Nasional. Les inilah itu lah. Orang tua pengen ini itu. Mau melanjutakan
kuliah atau bekerja saja. Buyar semua cita – cita. Makin kehilangan jati diri. Makin
absurd aja kalau ditanya cita –cita, malah saling sikut teman sebelah. Emm,,,
emmm,, jadi apa ya? Jadi orang yang berguna aja bu. Terakhir saya baca dibuku kenangan SMA, salah satu murid menliskan cita -citanya begini, jadi orang yang sukses dunia akhirat. Saya sampai ga habis pikir.
Rasa – rasanya adek – adek kita kelihangan pegangan. Atau mugkin
jusru kita salah satunya. Atau hapus saja itu Ujian Nasional? Lho. Bikin nambah
beban siswa. Apa hubungan cita – cita sama UAN? UAN juga kan bisa dipakai untuk
pemerataan taraf pendidikan? Jadi kita tahu, daerah mana saja yang masih perlu support
pendidikan. Intelegensi manusia kan beda –beda? EQ, hanya salah satunya. Bahasanya
multiple intelegent. Apa siswa hanya dijadikan ajang uji coba saja? Atau parahnya
proyek pendidikan? Dampak ujian nasional dari tahun –ketahun juga tidak semakin
membaik saya kira? , firlandia, Negara paling maju tingkat pendidikannya justru malah tidak menerapkan UAN untuk siswa.
Baik, baik. kebali ke topic. Siswa kita harus memiliki
karakter. Siapa yang bisa membentuk karakter mereka? Guru, orang tua, teman,
lingkungan, kakak dan diri sendiri. Artinya kita semua berperan. Kemana dinas
pendidikan, menteri pendidikan, pemuda dan olah raga? Ya iya, mereka juga
berperan. Sudah saya bilang, kita semua berperan.
Kalau aku ditanya cita – cita. Apa cita – cita mu??? #nah lho
0 komentar:
Posting Komentar