kerajaan Keadilan

Kamis, 17 Mei 2012

Setelah bongkar-bongkar file, tertarik juga untuk mempublish ini cerpen. Sempat dikirimkan dan tak tahu rimbanya, ga ada salahnya dinikmati di website sediri..^_^

Tidak seperti biasanya, sore ini hujan tidak turun. Gerombolan awan berarak dengan aneka bentuk burung, bunga, tempat celengan, mobil yang ada dipasar mainan idamanku menghiasi dinding, mengitari birunya langit. Sudah beberapa minggu ini hujan selalu turun dari selepas ashar hingga isya. Biasanya datang nya hujan dibarengi dengan suara ngedumel bapaku.

“hujan lagi, banjir lagi. Apa bupati kita itu kurang uang untuk sekedar memperbaiki selokan. Lha wong, jalan-jalan se indonesia saja sanggup kok ya.” Begitulah seringai bapak sambil membuat panggung di dalam rumah berjaga-jaga kalau-kalau banjir kiriman tiba.

“sabar yo pak, kalau kita merengut juga ndak baklaan menghentikan banjir. Nak, masuklah kedalam. Mandi dan siap-siapa buat sembayang dilanggar” begitulah ibuku, tenang dan selalu bisa menenangkan suasana.
Ibu berjalan ke dalam menuju dapur, mempersiapkan makan malam sederhana untuk kami santap sesudah aku pulang dari langgar. Sekedar untuk mengganjal perut kami. Rumahku tidak terlalu besar, dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur cukup untuk menampung empat anggota keluarga: bapak, ibu, eyang dan juga aku. Aku tahu benar apakah ada orang atau tidak dari gertak lantai yang bergerak diayun langkah kaki. Setengah tembok rumahku terbuat dari tembok batu bata dan setengah hingga keatapnya dari bambu yang dijalin membentuk anyaman. Kata bapak tembok nya untuk menahan agar rumah tetap utuh meski terjadi banjir. Dan ketika purnama tiba cahayanya sanggup mengintip disela-sela anyaman bambu yang menyusut.

Aku tak menghiraukan perintah ibu. Aku masih asyik dengan pembangunan istanaku. Mula-mula kubersihkan tanah yang dijadikan tempat membuat bangunan dari rumput-rumput yang berkeliaran. Kemudian meratakan tanahnya agar mudah membentuk ruang-ruang dalam istana. Mengunpulkan tanah dan pasir halus untuk membentuk temboknya. Aku semakin memperluas daerah kekuasaanku dengan membentuk lapangan kecil dikelilingi tembok  dengan pagar lidi sebagai jeruji besi batas kerajaan. Kuberi nama kerajaan keadilan.  Hanya orang-orang yang mengerti keadilan yang boleh tinggal dengan damai di kerajaanku.

Di kerajaanku, aku tidak lagi merasakan duniaku berambah kecil: dalam rumah kecil, dalam tubuhku yang kurus mungil, serta dalam ruang yang membatasi geraku.

Apakah dunia anak kecil adalah sebuah dunia yang serba kecil. Menurutku tidak juga. Lucas, teman sekelasku, dia cerita ikut liburam bersama ayahnya yang anggota DPR ke Belanda. Tempat yang hanya bisa aku gambarkan dalam kerajaanku. Mereka terbang melintasi beberapa benua. Membeli pakaian mewah dan aneka benda sebagai souvenir. Aku tahu dari teman –taman yang saling membicarakan plesiran Lucas. Dari ceritanya, jelas lucas adalah anak besar. Dengan dunianya yang besar, geraknya luas. Dan tentu saja orang tuanya adalah orang besar.

Aku mencari serpihan-serpihan kayu sebagai penghuni istananya. Besar, kecil, bulat, kurus tinggi. Aku memilih kayu yang sangat ideal: tinggi, kuat, bersih dan berisi untuk kujadikan rajanya. Laksana raja, dalam istana aku memiliki menteri yang bisa semaunya aku suruh. Prajurit-prajurit yang setia dan melindungiku. Pembantu yang siap sedia membawakan seluruh keperluanku : makanan mewah, pakain mahal, sepatu yang setiap hari selalu ganti.

inilah waktunya untuk memberi pelajaran kepada dodi dan teman-teman gengnya.” Pikirku.
Aku ingat bagaimana kejamnya dia merobek buku yang baru ibu belikan untuk ku.

“ups, maaf ga sengaja. hahaha” seringainya.

Sambil lalu dan menjatuhkan buku itu dihapanku. Benar-benar kejam. Aku hanya tertunduk lesu. Membiarkan hak-hakku terampas meski tidak pernah rela. Tidak berani melawan, dengan ukuran tubuhnya saja aku kalah besar. Dodi hampir dua kali lipat dari tubuhku. Di tambah lagi teman-teman nya yang sangar sangar dan bikin onar di sekolah. Jadilah mereka kelompok yang ditakuti, terutama orang kecil seperti aku. Menjadi orang kecil, harus pasrah meski menahan marah, menerima walau sering tak rela, menjadi terpencil yang ada dan tidak nya siapa yang peduli.

Tapi tidak dikerajaanku, rumah dodi adalah daerah kekuasaanku. Maka jadilah dia harus tunduk dan patuh dibawah perintahku. Aku memanggil bala tentara untuk membawa Dodi kehadapanku.
“aku tidak bersalah, aku tidak bersalah. Lepaskan aku” tubuh dodi memberontak menggeliat-liat seperti ulat bulu dalam karung. Tangan dan kakinya di ikat.

“ayo, minta maaf kepada ku dan semua orang yang telah kau sakiti. Atau ku hajar kau. Hah!” aliran darahku dipenuhi rasa kemenangan.

“ampun, ampun. Saya minta maaf” beginilah seharusnya perampok tengil yang banyak membuat resah seperti Dodi.

Tanpa pikir panjang, aku meminta pengawalku menemui Daru. Dialah yang menuduh temanku Peni mengambil tempat pencil Lucas. Yang terjadi disangka aku berkomplotan dengan Peni, membuatku dihukum berdiri ditiang bendera selama jam sekolah sampai tubuhku sempoyogan dan membuat PR dua kali lipat banyaknya. Benar-benar kurang ajar itu anak.

Dalam kerajaan ku tak ada yang bisa menghindari hukuman sang raja, tak ada tempat sembunyi meski di kolong semutpun. Namun, tak disangka sebelum aku datang ke rumah daru, dia kabur dari rumah. Jadilah dia orng yang paling dicari di seentario dunia sekalipun. Sudah ku katakan tidak ada tempat sembunyi untuk penjahat seperti dia. Karena ini kerajaan keadilan. Raja melindungi rakyatnya sepenuhnya dan akan langsung menghukum siapa saja yang berani menyakiti rakyatnya. Tidak sampai lima menit, Daru sudah tertangkap.

“jatuhlah hukuman dari ku untuk mu, penfitnah.” Aku potong-potong kayu yang berperan sebagai Daru, menjadi bagian kecil-kecil. Seperti terdakwa yang dijatuhi sang hakim hukum mati atau penjara seumur hidup.  Begini seharusnya orang-orang yang membolak –balikan hukum hanya demi kekuasaan.

Rakyatku bersorak riang, kini semua kejahatan dan kebatilan telah musnah dimuka bumi, tak ada lagi yang dapat menggangguku. Aku teringat pada lucas, anak itu juga harus patuh hukum di negeriku. Sudah berapa bulan dia nunggak bayar pajak, kabarnya sudah membeli tiga hektar wasah untuk memperluas kekayaanya. Akan ku lihat di sekarang. Kulihat lucas sedang bersantai sementara tiga orang sedang berat menggarap sawahnya. Kujadiakan tiga kayu kurus kering itu menjadi pekerja untuk kayu besar yang menjadi peran Lucas.

“hai lucas, sebenarnya kau sendirikan yang menaruh kotak pencilmu itu kedalam tas Peni, ngaku kau. Atau ku rampas semua milikmu ini” aku obrak abrik petakan sawah yang terbuat dari pasir milik lucas.
Aku membuat lucas tidak berkutik. Persis ikan pepes buatan ibu yang siap ku santap. Aku sangat menikmati kemenanganku. Aku merasakan kemenangan sebagai orang besar. Tidak ada lagi yang bisa mengolok-olok, menuduhku seenaknya. Aku sebagai  pelindung bagi orang kecil yang membutuhkan.

Tik.,.,

Satu titik air merobohkan benteng pertahanan kerajaanku. Tik tik tik..
Lama-lama semakin banyak dan deras, kerajaan ku tak berbentuk.

“masuk nak, hujan makin lebat” Dari dalam ibu memanggilku masuk dalam rumah. aku beranjak masuk. Dari dalam bapak meletakan ember untuk menadahi air yang meluncur dari atap genteng rumahku. Dimeja Ibu sudah menyiapkan nasi hangat dengan sayur bayam dan lauk teri, tidak lupa sambal trasi kesukaan bapak.

Aku masih melihat dari balik jendela kerajaanku, satu-satu lidinya roboh, kayu-kayu itu: aku, peni, lucas, Dodi, Daru, menteri-menteri serta prajuritku hilang tersapu air.

Yogyakarta, 2 Mei 2011





2 komentar:

mr.bolang (bondy magelang) mengatakan...

g dunk ki ceritane......susah banget dipahamin,haha

halamannya mbak kiki mengatakan...

baca ini cerita kudu punya imaginasi tinggi. yah,, kl ga dunk juga dinikmati ja...

Posting Komentar