Setelah bongkar-bongkar file, tertarik juga untuk mempublish ini cerpen. Sempat dikirimkan dan tak tahu rimbanya, ga ada salahnya dinikmati di website sediri..^_^
Tidak seperti biasanya, sore ini hujan
tidak turun. Gerombolan awan berarak dengan aneka bentuk burung, bunga, tempat
celengan, mobil yang ada dipasar mainan idamanku menghiasi dinding, mengitari
birunya langit. Sudah beberapa minggu ini hujan selalu turun dari selepas ashar
hingga isya. Biasanya datang nya hujan dibarengi dengan suara ngedumel bapaku.
“hujan lagi, banjir lagi. Apa bupati
kita itu kurang uang untuk sekedar memperbaiki selokan. Lha wong, jalan-jalan
se indonesia saja sanggup kok ya.” Begitulah seringai bapak sambil membuat panggung
di dalam rumah berjaga-jaga kalau-kalau banjir kiriman tiba.
“sabar yo pak, kalau kita merengut
juga ndak baklaan menghentikan banjir. Nak, masuklah kedalam. Mandi dan
siap-siapa buat sembayang dilanggar” begitulah ibuku, tenang dan selalu bisa
menenangkan suasana.
Ibu berjalan ke dalam menuju dapur,
mempersiapkan makan malam sederhana untuk kami santap sesudah aku pulang dari
langgar. Sekedar untuk mengganjal perut kami. Rumahku tidak terlalu besar, dua
kamar tidur, ruang tamu dan dapur cukup untuk menampung empat anggota keluarga:
bapak, ibu, eyang dan juga aku. Aku tahu benar apakah ada orang atau tidak dari
gertak lantai yang bergerak diayun langkah kaki. Setengah tembok rumahku
terbuat dari tembok batu bata dan setengah hingga keatapnya dari bambu yang
dijalin membentuk anyaman. Kata bapak tembok nya untuk menahan agar rumah tetap
utuh meski terjadi banjir. Dan ketika purnama tiba cahayanya sanggup mengintip
disela-sela anyaman bambu yang menyusut.
Aku tak menghiraukan perintah ibu. Aku
masih asyik dengan pembangunan istanaku. Mula-mula kubersihkan tanah yang
dijadikan tempat membuat bangunan dari rumput-rumput yang berkeliaran. Kemudian
meratakan tanahnya agar mudah membentuk ruang-ruang dalam istana. Mengunpulkan
tanah dan pasir halus untuk membentuk temboknya. Aku semakin memperluas daerah
kekuasaanku dengan membentuk lapangan kecil dikelilingi tembok dengan pagar lidi sebagai jeruji besi batas
kerajaan. Kuberi nama kerajaan keadilan.
Hanya orang-orang yang mengerti keadilan yang boleh tinggal dengan damai
di kerajaanku.
Di kerajaanku, aku tidak lagi
merasakan duniaku berambah kecil: dalam rumah kecil, dalam tubuhku yang kurus
mungil, serta dalam ruang yang membatasi geraku.
Apakah dunia anak kecil adalah sebuah
dunia yang serba kecil. Menurutku tidak juga. Lucas, teman sekelasku, dia
cerita ikut liburam bersama ayahnya yang anggota DPR ke Belanda. Tempat yang
hanya bisa aku gambarkan dalam kerajaanku. Mereka terbang melintasi beberapa
benua. Membeli pakaian mewah dan aneka benda sebagai souvenir. Aku tahu dari
teman –taman yang saling membicarakan plesiran Lucas. Dari ceritanya, jelas
lucas adalah anak besar. Dengan dunianya yang besar, geraknya luas. Dan tentu
saja orang tuanya adalah orang besar.
Aku mencari serpihan-serpihan kayu
sebagai penghuni istananya. Besar, kecil, bulat, kurus tinggi. Aku memilih kayu
yang sangat ideal: tinggi, kuat, bersih dan berisi untuk kujadikan rajanya.
Laksana raja, dalam istana aku memiliki menteri yang bisa semaunya aku suruh.
Prajurit-prajurit yang setia dan melindungiku. Pembantu yang siap sedia
membawakan seluruh keperluanku : makanan mewah, pakain mahal, sepatu yang
setiap hari selalu ganti.
“inilah
waktunya untuk memberi pelajaran kepada dodi dan teman-teman gengnya.”
Pikirku.
Aku ingat bagaimana kejamnya dia
merobek buku yang baru ibu belikan untuk ku.
“ups, maaf ga sengaja. hahaha”
seringainya.
Sambil lalu dan menjatuhkan buku itu
dihapanku. Benar-benar kejam. Aku hanya tertunduk lesu. Membiarkan hak-hakku
terampas meski tidak pernah rela. Tidak berani melawan, dengan ukuran tubuhnya
saja aku kalah besar. Dodi hampir dua kali lipat dari tubuhku. Di tambah lagi
teman-teman nya yang sangar sangar dan bikin onar di sekolah. Jadilah mereka
kelompok yang ditakuti, terutama orang kecil seperti aku. Menjadi orang kecil,
harus pasrah meski menahan marah, menerima walau sering tak rela, menjadi
terpencil yang ada dan tidak nya siapa yang peduli.
Tapi tidak dikerajaanku, rumah dodi
adalah daerah kekuasaanku. Maka jadilah dia harus tunduk dan patuh dibawah
perintahku. Aku memanggil bala tentara untuk membawa Dodi kehadapanku.
“aku tidak bersalah, aku tidak
bersalah. Lepaskan aku” tubuh dodi memberontak menggeliat-liat seperti ulat
bulu dalam karung. Tangan dan kakinya di ikat.
“ayo, minta maaf kepada ku dan semua
orang yang telah kau sakiti. Atau ku hajar kau. Hah!” aliran darahku dipenuhi
rasa kemenangan.
“ampun, ampun. Saya minta maaf”
beginilah seharusnya perampok tengil yang banyak membuat resah seperti Dodi.
Tanpa pikir panjang, aku meminta
pengawalku menemui Daru. Dialah yang menuduh temanku Peni mengambil tempat
pencil Lucas. Yang terjadi disangka aku berkomplotan dengan Peni, membuatku
dihukum berdiri ditiang bendera selama jam sekolah sampai tubuhku sempoyogan
dan membuat PR dua kali lipat banyaknya. Benar-benar kurang ajar itu anak.
Dalam kerajaan ku tak ada yang bisa
menghindari hukuman sang raja, tak ada tempat sembunyi meski di kolong
semutpun. Namun, tak disangka sebelum aku datang ke rumah daru, dia kabur dari
rumah. Jadilah dia orng yang paling dicari di seentario dunia sekalipun. Sudah
ku katakan tidak ada tempat sembunyi untuk penjahat seperti dia. Karena ini
kerajaan keadilan. Raja melindungi rakyatnya sepenuhnya dan akan langsung
menghukum siapa saja yang berani menyakiti rakyatnya. Tidak sampai lima menit,
Daru sudah tertangkap.
“jatuhlah hukuman dari ku untuk mu,
penfitnah.” Aku potong-potong kayu yang berperan sebagai Daru, menjadi bagian
kecil-kecil. Seperti terdakwa yang dijatuhi sang hakim hukum mati atau penjara
seumur hidup. Begini seharusnya
orang-orang yang membolak –balikan hukum hanya demi kekuasaan.
Rakyatku bersorak riang, kini semua
kejahatan dan kebatilan telah musnah dimuka bumi, tak ada lagi yang dapat
menggangguku. Aku teringat pada lucas, anak itu juga harus patuh hukum di
negeriku. Sudah berapa bulan dia nunggak bayar pajak, kabarnya sudah membeli
tiga hektar wasah untuk memperluas kekayaanya. Akan ku lihat di sekarang.
Kulihat lucas sedang bersantai sementara tiga orang sedang berat menggarap
sawahnya. Kujadiakan tiga kayu kurus kering itu menjadi pekerja untuk kayu
besar yang menjadi peran Lucas.
“hai lucas, sebenarnya kau sendirikan
yang menaruh kotak pencilmu itu kedalam tas Peni, ngaku kau. Atau ku rampas
semua milikmu ini” aku obrak abrik petakan sawah yang terbuat dari pasir milik
lucas.
Aku membuat lucas tidak berkutik.
Persis ikan pepes buatan ibu yang siap ku santap. Aku sangat menikmati
kemenanganku. Aku merasakan kemenangan sebagai orang besar. Tidak ada lagi yang
bisa mengolok-olok, menuduhku seenaknya. Aku sebagai pelindung bagi orang kecil yang membutuhkan.
Tik.,.,
Satu titik air merobohkan benteng
pertahanan kerajaanku. Tik tik tik..
Lama-lama semakin banyak dan deras,
kerajaan ku tak berbentuk.
“masuk nak, hujan makin lebat” Dari
dalam ibu memanggilku masuk dalam rumah. aku beranjak masuk. Dari dalam bapak
meletakan ember untuk menadahi air yang meluncur dari atap genteng rumahku. Dimeja
Ibu sudah menyiapkan nasi hangat dengan sayur bayam dan lauk teri, tidak lupa
sambal trasi kesukaan bapak.
Aku masih melihat dari balik jendela
kerajaanku, satu-satu lidinya roboh, kayu-kayu itu: aku, peni, lucas, Dodi,
Daru, menteri-menteri serta prajuritku hilang tersapu air.
Yogyakarta, 2 Mei 2011

2 komentar:
g dunk ki ceritane......susah banget dipahamin,haha
baca ini cerita kudu punya imaginasi tinggi. yah,, kl ga dunk juga dinikmati ja...
Posting Komentar