dialog jalanan bawah lampu merah

Rabu, 16 Mei 2012

Euforia senja seperti tak rela dengan kehadiranmu. Riuhan kicauan burung bangau yang terbang merendah di gelombang ombak, seperti terpaksa meninggi kembali untuk menyerahkan peluh perjuangan mereka pada kerumunan generasi penerus yang telah menunggu dengan setia. Burung-burung bangau itu mengacuhkan perut mereka sendiri. Jika bukan karena kehadiranmu, mereka akan dengan senang hati kembali merendah.

Teriakan riang ombak yang mendebur pun kian pelan terdengar. Membuat pijakan-pijakan bertenaga kembali pada peraduannya, mendamaikan hati mereka pada ruang jelaga tanpa kehadiranmu.

Tapi lihatlah, ada sekian tapak yang tetap setia menunggumu. Membiarkan kau lewat dengan keanggunanmu dan membiarkan kau menatap mereka dengan mata bijakmu. Namun apakah kau merasa, setelah berkali-kali kau diam, ada juga sekian mata yang selalu awas menunggu kehadiranmu? Merengek pada rindu yang tak bisa tertahankan untuk segera bertemu denganmu? Mencari-cari pembenaran pada bola mata beningmu?

Aku tak pernah memintamu untuk datang. Aku pun tak pernah memintamu untuk menerangi mataku. Tapi kau tetap dengan setia selalu bersinar, tepat di kala aku membutuhkan pijaran kasih sayang. Kau tetap tulus berdikari pada tatapan-tatapan hampaku yang mencari pembenaran dari takdir yang menimpaku. Kau tetap bersinar sahaja sekaligus bersikeras ingin membuktikan padaku .....

Bait diatas aku dapat dari “annida”. Kalau boleh diteruskan. Kelak kau akan mengerti...

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mu. Ya, aku kehilangan sosok mu yang dulu. Kalimat ini sejatinya cukup mencerminkan siapa wajah mu dulu dan sekarang. Memberiku kabar gembira dan peringatan. Hingga mampu membuatku seperti sekarang ini. Nampaknya beban yang kini kau pikul telah berbeda. Apalah arti pengakuan orang lain. Seiring berjalannya waktu akupun mengerti, banyak metafor nampak dipelupuk mata ini. Kalau bukan karena kau, apalah aku sekarang. Trimakasih sudah menjembatani aku hingga ketepian.

Kini giliranku menjemput senyum mereka, menggandengnya mengejar untuaian kabar gembira dan peringatan. Pintaku untuk mu sepanjang doaku, kukuhkan pijakankan yang telah kamu bangun atas ku. Aku tidak akan meninggalkan luka seperti kau tinggalkan untuk ku. Melihatnya kecewa adalah kesalahan yang tidak akan aku bangun dengan semampuku.

Suatu hari, dirimu berceletuk. Entah sedang becanda atau benar-benar ingin memberitahuku. “Di rimbunya rerimbaan, banyak rupanya pemburu yang melepaskan buruannya. Hanya saja kadang pemburu itu terlambat mengobati buruannya yang terlanjur....” kalimatmu terputus.

“terluka” aku tahu dirimu sedikit terkejut mendengar ucapanku. Saat itu kamu menoleh kearah ku. Aku pura-pura acuh dan melajutkan bidikan photo dipinggiran jalan bawah lampu merah.

Sekarang tidak perlu lagi dirimu jelaskan apapun dengan ku. Aku menerima apapun yang ada didirimu sekarang. Bahkan kita masih bisa bergandengan beriringan seperti ini kan. Hanya saja aku cemburu dengan terpaan diluar sana, yang mampu menghempas sosok yang terlanjur aku kenali, kini harus beradu sebrang dengan aku.( bersambung)


4 komentar:

Unknown mengatakan...

wahai sosok? siapakah gerangangan mu :))

halamannya mbak kiki mengatakan...

sosok yg aku anggap setia pada malam dan gerimis pagi. nyatanya retak di tengah gelap. tp biarlah, selagi bisa menemani sekedar pengusir sepi.. hahaha so dramatis....
thanks komennya,,,

yaz_ay mengatakan...

wooo.. mari kita kemasi baju.. eh?! xixixixxi,,,

halamannya mbak kiki mengatakan...

hemmmm... trus aku pindah ke kamarmu gitu..
:P :P :P

Posting Komentar