Euforia senja seperti
tak rela dengan kehadiranmu. Riuhan kicauan burung bangau yang terbang merendah
di gelombang ombak, seperti terpaksa meninggi kembali untuk menyerahkan peluh
perjuangan mereka pada kerumunan generasi penerus yang telah menunggu dengan
setia. Burung-burung bangau itu mengacuhkan perut mereka sendiri. Jika bukan
karena kehadiranmu, mereka akan dengan senang hati kembali merendah.
Teriakan riang ombak
yang mendebur pun kian pelan terdengar. Membuat pijakan-pijakan bertenaga
kembali pada peraduannya, mendamaikan hati mereka pada ruang jelaga tanpa
kehadiranmu.
Tapi lihatlah, ada
sekian tapak yang tetap setia menunggumu. Membiarkan kau lewat dengan
keanggunanmu dan membiarkan kau menatap mereka dengan mata bijakmu. Namun
apakah kau merasa, setelah berkali-kali kau diam, ada juga sekian mata yang
selalu awas menunggu kehadiranmu? Merengek pada rindu yang tak bisa tertahankan
untuk segera bertemu denganmu? Mencari-cari pembenaran pada bola mata beningmu?
Aku tak pernah
memintamu untuk datang. Aku pun tak pernah memintamu untuk menerangi mataku.
Tapi kau tetap dengan setia selalu bersinar, tepat di kala aku membutuhkan
pijaran kasih sayang. Kau tetap tulus berdikari pada tatapan-tatapan hampaku
yang mencari pembenaran dari takdir yang menimpaku. Kau tetap bersinar sahaja
sekaligus bersikeras ingin membuktikan padaku .....
Bait diatas aku dapat dari “annida”. Kalau boleh diteruskan.
Kelak kau akan mengerti...
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mu. Ya,
aku kehilangan sosok mu yang dulu. Kalimat ini sejatinya cukup mencerminkan
siapa wajah mu dulu dan sekarang. Memberiku kabar gembira dan peringatan. Hingga
mampu membuatku seperti sekarang ini. Nampaknya beban yang kini kau pikul telah
berbeda. Apalah arti pengakuan orang lain. Seiring berjalannya waktu akupun
mengerti, banyak metafor nampak dipelupuk mata ini. Kalau bukan karena kau,
apalah aku sekarang. Trimakasih sudah menjembatani aku hingga ketepian.
Kini giliranku menjemput senyum mereka, menggandengnya
mengejar untuaian kabar gembira dan peringatan. Pintaku untuk mu sepanjang
doaku, kukuhkan pijakankan yang telah kamu bangun atas ku. Aku tidak akan
meninggalkan luka seperti kau tinggalkan untuk ku. Melihatnya kecewa adalah
kesalahan yang tidak akan aku bangun dengan semampuku.
Suatu hari, dirimu berceletuk. Entah sedang becanda atau benar-benar
ingin memberitahuku. “Di rimbunya rerimbaan, banyak rupanya pemburu yang melepaskan
buruannya. Hanya saja kadang pemburu itu terlambat mengobati buruannya yang
terlanjur....” kalimatmu terputus.
“terluka” aku tahu dirimu sedikit terkejut mendengar
ucapanku. Saat itu kamu menoleh kearah ku. Aku pura-pura acuh dan melajutkan bidikan
photo dipinggiran jalan bawah lampu merah.
Sekarang tidak perlu lagi dirimu jelaskan apapun dengan ku. Aku menerima apapun yang ada
didirimu sekarang. Bahkan kita masih bisa bergandengan beriringan seperti ini
kan. Hanya saja aku cemburu dengan terpaan diluar sana, yang mampu menghempas
sosok yang terlanjur aku kenali, kini harus beradu sebrang dengan aku.( bersambung)

4 komentar:
wahai sosok? siapakah gerangangan mu :))
sosok yg aku anggap setia pada malam dan gerimis pagi. nyatanya retak di tengah gelap. tp biarlah, selagi bisa menemani sekedar pengusir sepi.. hahaha so dramatis....
thanks komennya,,,
wooo.. mari kita kemasi baju.. eh?! xixixixxi,,,
hemmmm... trus aku pindah ke kamarmu gitu..
:P :P :P
Posting Komentar